DIALOG PEMIKIRAN POLITIK

on Rabu, 31 Desember 2008

DIALOG PEMIKIRAN POLITIK

IMMANUEL KANT DAN IBNU TAIMIYAH










“Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain
yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil.”
- Immanuel Kant -

“Tuhan membantu negara yang adil meskipun kafir,
dan tidak membantu negara yang zalim meskipun beriman.”
- Ibnu Taimiyah -

Membicarakan tentang pemikiran politik Barat dan Islam seperti membicarkan kakak-beradik yang telah lama terpisah jauh. Pada awalnya mereka berasal dari rahim yang sama, kemudian berkembang dalam lingkungan dan tradisi yang berbeda, dan berakhir dengan perjumpaan yang hangat dan saling merindukan.

Kedua budaya ini-Barat dan Islam-sama-sama mempunyai ide-ide tertentu, yang kadang-kadang dikemukakan dalam bahasa yang sungguh serupaya, lantaran warisan yang sama dari monoteisme Ibrahimi dan filsafat Yunani. Tetapi, keduanya diekspresikan dalam konteks sosial dan intelektual yang sama sekali berbeda, dan dengan makna yang sangat berbeda. Islam sama sekali tidak mengenal tradisi politik Romawi, sementara Eropa sama sekali tidak mengenal tradisi politik Indo-Iran. [1]

Dunia Islam melahirkan banyak pemikiran yang orisinal dan tajam. Sejarah pemikiran politik Islam memperlihatkan kepada kita sebuah tradisi intelektual yang unik. Apa yang kita saksikan adalah hubungan antara agama dan politik. Islam muncul sebagai sebuah agama yang bertekad untuk menundukan dan mengubah dunia.

Di sisi lain, dunia Barat selalu mengagung-agungkan rasionalitas dan akal. Pemikiran politik Barat praktis mendominasi semenjak keruntuhan kekuatan gereja Katholik dengan sebuah endorsement perjanjian Westphalia 1648 yang meletakkan kekuatan negara-bangsa sebagai sandaran loyalitas utama suatu masyarakat. Sejarah membawa Barat menuju sekularisasi besar-besaran; secara gradual agama kemudian melangkah menjauh dari ranah politik.

Kini dalam paper ini, pemikiran politik dari kedua dunia kembali berjumpa dalam sebuah dialog pemikiran politik. Immanuel Kant (1724-1804) merupakan salah satu tokoh pencerahan Eropa pada abad ke-18. Kontribusinya pada pergerakan politik masih bisa ditemukan sampai dewasa ini. Kant berangkat dengan memperkenalkan secara filosofis martabat manusia (human dignity) atau hak sebagai manusia yang menjadi dasar dari hak asasi lainnya. Hak sebagai manusia berarti kebebasan individu dan kesetaraan. Prof Dr Matthias Lutz Bachmann dari Universitat Frankfurt Am Main, Jerman, mengungkapkan:

“Dengan gagasan filosofisnya, yakni bentuk republik, federasi negara-negara merdeka, dan keramahtamahan universal (cosmopolitan right), tujuan politik Kant adalah membuat kedamaian abadi antara individu dan antarnegara,”[2]

Sementara, Ibnu Taimiyah (1263-1328) menjelaskan dengan sangat gamblang ide-ide tertentu yang mungkin secara logis dianggap sebagai inti pemikiran politik Islam. Dialah adalah satu-satunya teoritisi politik dari wilayah bulan sabit untuk waktu yang sangat lama[3].

Ibnu Taimiyah mendapatkan banyak pengikut di kalangan rakyat jelata. Kecaman-kecamannya menggoyahkan stabilitas publik, sehingga ia harus berkali-kali hidup di balik terali besi. Meski demikian, ia pernah diangkat menjadi juru khutbah dalam sebuah peperangan, yang di dalamnya ia secara pribadi mengorbankan perlawanan terhadap invasi Mongol di Suriah (1300-1301). Dia menghabiskan dua tahun terakhirnya di penjara (1326-1328). Kesempatan itu ia gunakan untuk menulis, seingga sipir penjara merampas pena dan kertasnya. [4] Karya utama Ibnu Taimiyah dalam politik adalah al-kitab al-siyasah al-syar’iyyah (buku tentang Politik Berdasarkan Syariat, ditulis pada 1311-1315).

Perbandingan pemikiran politik ini tidak hanya bertujuan untuk menarik garis perbedaan menjadi semakin lebar, tapi lebih dari itu mencari persamaan-persamaan dari kedua pemikiran dari kedua “kakak-beradik” yang sudah sudah lama berpisah ini. Perbandingan yang dimaksud didasarkan pada esai yang ditulis Kant tahun 1784, “Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View[5] yang menyebutkan sembilan prinsip kosmopolitanisme.

Meminjam pendapat Antony Black, kita tidak mengerti bagaimana mungkin seseorang mengklaim telah memahami sejarah pemikiran yang berkembang di suatu budaya padahal ia tidak meneliti apa yang sedang terjadi di lingkungan budaya lain.

“Tidak seorang pun bisa menjelaskan suatu fenomena apa pun tanpa merujuk pada berbagai hal yang terjadi di luar fenomena itu”[6].

Ringkas kata, paper ini merupakan awalan dari usaha untuk memandang lebih jernih teori ilmu politik dari kedua mata, Islam dan Barat.

Pemikiran Kosmopolitanisme Immanuel Kant

Immanuel Kant terkenal dengan gagasan kosmopolitanisme yang berusaha menjawab permasalahan yang timbul dari kekacauan dunia yang bersekat dan distribusi sumber daya yang mandek di perbatasan Negara. Definisi sederhana kosmopolitanisme adalah kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal.

Secara umum kosmopolitanisme dapat diartikan sebagai kesetaraan nilai moral pada seluruh manusia dan tanggung jawab moral yang tidak terbatas hanya pada garis perbatasan Negara; perlindungan terhadap hak asasi manusia; distribusi sumber daya alam secara global, dan mewujudkan kosmopolitan demokrasi yang dianggap sebagai demokrasi yang otentik.[7]

Kosmopolitanisme Kant dapat tergambar melalui esainya yang berjudul Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View. Pada esainya yang terkenal ini, Kant berusaha menjelaskan kosmopolitanisme sebagai akhir dari perjalanan sejarah umat manusia dalam sembilan poin.

Pertama, semua kapasitas alam diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi akhir alam itu sendiri. Kedua, semua kapasitas alam digunakan oleh manusia sesuai dengan akalnya untuk dikembangkan hanya dalam kelompok bangsa (race), tidak oleh perseorangan (individual).

Dalam mewujudkan gagasan kosmopolitanismenya, Kant masih tetap menyandarkan proyeknya pada peran Negara, tetapi dengan komitmen yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai kosmopolit. Menurut Ian Adams, Kant adalah salah seorang filsuf Jerman yang terpengaruh oleh revolusi Perancis. Ia terinspirasi oleh harapan-harapan tinggi revolusi, sementara takut dengan perjalanan peristiwanya[8].

Kosmopolitanisme Kant lebih menekankan pada kesesuaian antara tindakan dengan hukum. Kant menilai tidak perlu merombak struktur institusi Negara yang sudah ada sekarang, tapi lebih menitikberatkan pada kosmopolitanisme moral. Dengan kata lain, Kant memandang penting peran Negara-negara dalam pengelolaan kapasitas alam dan memilih untuk memperbaiki ruh dari Negara-negara agar lebih mengedepankan komitmen pada perlindungan hak asasi dan jaminan keamanan manusia.

Ketiga, Alam mengharuskan manusia memproduksi berdasarkan insting kebinatangannya yang diciptakan sesuai dengan akal. Alam tidak melakukan semuanya dengan kesia-siaan. Dia memberikan kepada manusia akal dan kebebasan berkehendak untuk mencermati tanda-tanda dari kehendak Alam itu sendiri.

Keempat, manusia dalam mengembangkan kapasitas alam melahirkan “antagonisme”. Maksudnya adalah manusia pada satu sisi merasa menjadi bagian dari kelompok itu, sementara pada sisi lain berhasrat ingin memiliki semua kapasitas alam menjadi milik pribadinya. Sikap seperti ini pada akhirnya, mengharuskan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum sesama.

Kelima, permasalahan terbesar manusia adalah mencapai masyarakat madani secara universal (universal civic society) dimana hukum mengatur mereka. Keenam, masalah di atas paling sulit dan akan menjadi yang terakhir diselesaikan oleh umat manusia. Kehendak alam yang paling puncak adalah masyarakat universal yang hanya bisa dicapai oleh umat manusia dengan mengorbankan semua kapasitas dan hanya bisa dicapai melalui masyaakat yang menjunjung tinggi kebebasan. Pada prinsip kelima dan keenam ini gagasan kosmopolitanisme Kant mulai nyata. Ia berpendapat mewujudkan masyarakat kosmpolit yang universal adalah tugas purna sejarah manusia.

Ketujuh, masalah di atas sangat tergantung pada masalah hukum hubungan di antara Negara-negara dan tidak akan bisa diselesaikan tanpa solusi dari permasalahan tersebut. Kedelapan, Negara yang memiliki konsititusi sempurna adalah kondisi dimana kapasitas umat manusia dapat sepenuhnya dikembangkan dan mendorong hubungan eksternal antarnegara sampai pada akhirnya. Kesembilan, usaha filosofis harus ditempuh untuk mewujudkan sejarah universal umat manusia sesuai dengan kehendak Alam.

Kant percaya bahwa esensi kebebasan terletak pada otonomi moral, pada kemampuan rakyat untuk hidup menurut aturan yang mereka buat sendiri. Maka untuk benar-benar bebas, tidaklah sekedar mengejar kepentingannya sendiri, tetapi bertindak menurut kewajiban moral yang didefinisikannya sendiri, meskipun ia juga memiliki kepentingan pribadi.

Kant menyandarkan upaya mewujudkan sejarah universal kosmopolit pada ide. Ide menjadi satu-satunya pijakan dalam mengetahui bagaimana Alam bekerja, jika mata manusia terlalu buta untuk mengetahui bagaimana sistem Alam ini bekerja. Upaya-upaya perubahan menuju kosmopolitan harus ditempuh dengan cara-cara filosofis yang mengandalkan pemikiran atau ide. Sehingga semakin hari, manusia akan semakin dekat menuju cita-cita yang diidamkan dan semakin jelas mengungkap rahasia Alam, yaitu sejarah manusia yang universal. Kant selalu mengedepankan pendekatan filosofis dalam setiap pemikirannya, pun dalam proyek kosmopolitan ini.

Secara ringkas, pemikiran Kant dalam sembilan poin Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View berusaha membantu umat manusia dalam mengenali rahasia Alam yang paling purna dan Alam menisbatkan itu sebagai tujuan akhir sejarah umat manusia, yaitu masyarakat universal (universal civic society). Dalam mencapai tujuan akhir itu, menurut Kant, manusia hanya bisa mencapainya melalui negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kosmopolitanisme, seperti keadilan, kebebasan, HAM, dan jaminan keamanan manusia.

Kosmopolitanisme Taimiyah

Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ayat Al-Quran (Al-Anbiya: 107) bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromoskan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin olrh pemimpin muslim yang dzalim.”[9]

Jelas sekali pendapat Taimiyah ini sangat kosmopolit dengan memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.

Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal.

Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Institusi Negara

Dalam memandang pentingnya berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, Kant dan Taimiyah bertemu pada titik yang sama. Kant dan Taimiyah sama-sama menganggap pentingnya kelompok dalam pengelolaan kapasitas alam. Lebih jauh lagi, pengelolaan sumber daya alam harus melalui kelompok yang kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.

“Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.”[10]

Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.[11]

Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan sebagaimana yang Kant maksudkan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”[12]

Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).

Pemimpin menurut Taimiyah

Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori “amanat” dan “tugas publik (waliyat)” seperti yang dipahami dalam syariat. Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil” (QS. An-Nisa [4]: 61-62). Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya yang terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.”[13]

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.

Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.

Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpina, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.

Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Pendapatnya yang kontroversial dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah adalah “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan.”[14]

Bentuk negara menurut Taimiyah

Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As-Sunnah). Suatu pemikiran ekstrem yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.

Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang diangap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, tinimbang meributkan bentuk negara.

Teori politik Ibnu Taimiyah (w. 1328) memiliki kemiripan yang lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari penjelaan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah “melampaui” tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.[15] (Jindan, 1995: 124)

Pembaharuan pemikiran oleh Taimiyah

Taimiyah melakukan pembaharuan dengan membuka kembali pintu akal, daripada hanya mengikuti pola yang sudah baku. Kepercayaan terhadap kemungkinan dan nilai pengetahuan syariah yang independen mempunyai pengaruh yang kuat pada doktrin Ibnu Taimiyah dan merupakan pendukung semua langkah pembaruannya yang kontroversial.

Perubahan paling penting yang menyangkut dengan metode itu adalah adanya rehabilitasi peranan ijtihad yang sering diartikan dengan ungkapan seseorang terhadap kecakapan dan kemampuan pribadinya untuk mencapai pengetahuan. Ijtihad dimaksudkan untuk menggantikan metode taklid yang amat membeo dan kaku. Taklid sendiri berarti mengadopsi segala keputusan yang ditetapkan oleh para penguasa.

Ia tidak mendukung tafsir teks suci yang benar-benar harfiah, tetapi menggunakan analogi dan silogisme sebagai alat untuk menghubungkan contoh-contoh tertentu dengan norma-norma legal melalui argument rasional. Dia mendukung penalaran individual (ijtihad) yang dilakukan oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat sebagai bantuan untuk memahami konsensus (ijmak) umat Islam. Satu hal yang paling mengejutkan, ia mendukung “jalan tengah” (wasath)-atau rekonsiliasi-antara nalar (metode teologi), riwayat (metode ahli hadits), dan kehendak bebas (metode sufi).

Selain itu, prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental syariah harus mempertimbangkan keadaan-keadaan baru. Menurutnya, syariat saat ini mungkin membutuhkan banyak adaptasi. Syariat dapat memberikan bimbingan yang benar untuk setiap masalah hanya jika manusia menggunakan seluruh upayanya (berijtihad). Ibnu Taimiyah membolehkan penguasa untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu urusan yang belum ditetapkan oleh syariat, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi, malpraktik, dan penyuapan.

Cakrawala Ibnu Taimiyah semakin terbuka ketika Kekhalifahan Abbasiyah tumbang, karena peristiwa itu membuka jalan bagi solusi yang lebih radikal terhadap problem-problem yang sekian lama menghantui masyarakat.

Ibnu Taimiyah menghargai peranan akal dan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, tetapi kedudukannya harus berada di bawah wahyu. Akal yang benar adalah akal yang beroperasi di bawah bimbingan Al-Quran dan petunjuk Nabi (As-Sunnah).

Persamaan dan Perbedaan antara Kant dan Taimiyah

Dalam memandang kosmopolitanisme sebagai akhir dari sejarah umat manusia, Kant meletakkan beberapa faktor sebagai modal, yakni memahami kehendak Alam; institusi negara sebagai jalan; upaya negara-negara dalam mewujudkan kosmopolitanisme; dan usaha-usaha filosofis manusia untuk mencapai kosmopolitanisme.

Sementara Taimiyah memiliki pendapat yang serupa dengan mengedepankan peranan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan menegakkan keadilan; memandang dengan kacamata kosmopolit dengan mementingkan asas keadilan di atas keimanan; dan penyegaran pemikiran dengan mengemukakan usaha filosofis dalam mencari kebenaran.

Dari pemikiran kedua filsuf berbeda zaman dan dunia ini, kita sedikit banyak dapat menemukan benang merah. Mereka sama-sama berbicara kosmopolitanisme; keadilan, distribusi sumber daya secara global, dan pencapaiannya melalui institusi negara, namun dengan warna yang berbeda.

Menariknya, pendapat Taimiyah yang kosmopolit ini dikemukakan lima abad sebelum Kant dan dari dunia yang berbeda dari dunia tempat Kant hidup. Dengan kata lain, pendapat Taimiyah ini “melompati zamannya” dan menembus ruang dimana ia tinggal. Karena keteguhannya memegang pendapat-pendapatnya yang “melompati zaman” ini, pemikir besar Islam ini harus membayar mahal dengan merasakan tiga kali dinginnya ruangan penjara, bahkan harus menutup usia dalam penjara.

Selanjutnya perbedaan di antara keduanya. Dalam setiap kesempatan, karya Kant selalu mempermasalahkan Tuhan yang sebelumnya dianggap tidak bisa dibicarakan karena tidak tergolong dalam kategori-kategori dan mengagung-agungkan rasionalitas. Sebagai gantinya, Kant lebih mempercayai hukum Alam (dalam “a” besar) yang mengatur kehidupan manusia dan menetapkan tujuan-tujuan sejarah manusia.

Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dengan tegas selalu berpegang teguh pada hukum agama Islam dalam setiap pemikirannya. Taimiyah menghargai akal, tetapi akal yang terbimbing oleh agama. Kekuasaan, menurut Taimiyah, adalah kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Taimiyah dikenal sebagai salah satu pemikir kosmopolitanisme Islam yang meletakkan pondasi keadilan dalam pemerintahan melebihi agama; membuka keran pemikiran Islam seluas-luasnya; distribusi sumber daya secara global; dan pencapaian keadilan melalui institusi negara. Meskipun demikian, ia tetap dikenal sebagai seorang ulama Islam yang berpengaruh dan mengkaji ilmu-ilmu agama secara mendalam.

Selain itu pula, perbedaan yang jelas antara Kant dan Taimiyah dalam hal memandang progresivitas sejarah. Kant memandang Alam berkendak agar manusia berusaha mewujudkan sejarah universal manusia yang kosmopolit. Kant menilai inilah puncak sejarah manusia yang sempurna dan menjadi tugas terakhir yang harus direalisasikan sebelum Alam berakhir. Pemikiran Kant senada dengan pemikir Barat lainnya yang selalu merefleksikan progresivitas sejarah ke arah masa depan.

Akan tetapi, Taimiyah berpendapat puncak sejarah manusia yang sempurna adalah pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup. Setiap pemikir Islam, termasuk Taimiyah, mempercayai bahwa pencapaian sejarah manusia yang paling puncak adalah pada masa dimana Rasulullah hidup. Sehingga setiap pemikir Islam selalu merefleksikan tujuan ideal ke belakang dalam proses filosofisnya. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Zaman terbaik adalah zamanku, kemudian sesudahnya, dan sesudahnya lagi.”***

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian, (2003). “Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya”, Yogyakarta: Qalam

Black, Antony, (2001).“Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini”, Jakarta: Serambi

Brock, Gillian, (2002). World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada

Jindan, Khalid Ibrahim, (1995).“Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam”, Surabaya: Risalah Gusti

Kant, Immanuel, (1784) Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, dalam diktat “Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gdjah Mada

Kompas, 20 Desember 2004

Kurniawan, Budi, (2004).“Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Negara dan Perannya dalam Pasar”, Yogyakarta: skripsi pada program sarjana jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada

Strathern, Paul, (2001).“90 Menit Bersama Kant”, Jakarta: Erlangga

Surwandono, (2001).“Pemikiran Politik Islam“, Yogyakarta: LPPI UMY

Taimiyah, Ibnu, (1985). Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba, London:

Taimiyah, Ibnu, (2004).“Tugas Negara Menurut Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


[1] Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi[2] Kompas, 20 Desember 2004[3] Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi, halaman 297[4] Ibid[5] Immanuel Kant, Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, 1784, dalam diktat “Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional.[6] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi, halaman 24

[7] Gillian Brock, World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional, halaman 2

[8] Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, 2004, Yogyakarta: Qalam, halaman 27

[9] Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY

[10] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[11] Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba,1985, London

[12] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[13] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi

[14] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti

[15] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti

0 komentar:

Posting Komentar